Ficool

putih

XYANZ_12
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
160
Views
Table of contents
VIEW MORE

Chapter 1 - chapter 01

"They live in the same house but their hearts are somewhere else."

Jam sudah menunjukkan sembilan pagi. Recandra baru saja bangun dari tidurnya. Ia menatap layar monitornya yang sudah mati—sepertinya benda itu juga kelelahan.

Ia bangkit dari duduknya dengan senyum kecil, meregangkan tubuh yang pegal karena semalaman tertidur di kursi putar, bukan di kasur. Langkahnya pelan menuju pintu, lalu keluar dari kamar dan menuruni anak tangga rumah tua dua lantai itu.

Lantai bawah terasa sunyi. Televisi di ruang tamu menyala dengan volume pelan, menampilkan acara gosip pagi yang selalu diputar ibunya—meski sang ibu sendiri tak pernah benar-benar menonton, hanya sekadar jadi latar. Dari dapur, terdengar suara panci diletakkan agak keras, seperti biasa. Mungkin ayahnya sedang mencari sendok tanpa niat benar-benar sarapan.

Mereka ada. Tapi seolah tidak benar-benar hadir.

Recandra lewat begitu saja. Tak ada sapa, tak ada lirikan. Ia seperti udara di rumahnya sendiri—terasa, tapi tak dianggap.

Di beranda, ia duduk di bangku panjang yang agak reyot, masih hangat oleh matahari pagi. Ia menyandarkan kepala ke tembok, menatap pepohonan kecil di halaman yang mulai meranggas karena lupa disiram.

Burung-burung kecil bertengger di kabel listrik. Anak-anak tetangga bermain sepeda dengan tawa riuh. Tapi suasana hatinya tetap datar. Bukan karena marah, bukan karena sedih. Hanya... terbiasa.

Ia menarik napas panjang. "Tenang banget pagi ini," gumamnya, meski tak yakin siapa yang ia ajak bicara.

Satu detik, dua detik, lalu…

Perutnya berbunyi.

"Dan gue belum sarapan."

Dengan malas, ia berdiri dan menuju dapur. Ibunya ada di sana, sibuk mencuci piring. Tak ada sapaan. Hanya suara air mengalir dan denting piring bertabrakan.

Ia membuka tudung saji di atas meja terlihat beberapa sayuran, dan lauk pauk di atas piring dan mangkok besar. Recandra tersenyum kecil, lantas ia mengambil sepiring nasi beserta sayur dan lauk pauknya.

Ia mulai makan dengan lahap, sepertinya pertarungan tadi malam benar benar menguras energi dan pikirannya.

Suara dentingan sendok dan piring terdengar jelas, seperti satu-satunya irama yang mengisi kekosongan pagi itu. Di seberang meja, kursi-kursi kosong hanya menjadi saksi bisu kebiasaan yang terasa seperti rutinitas tanpa makna.

Ibunya masih di dekat wastafel, tapi tak sekali pun menoleh. Bahkan ketika gelas minum Recandra nyaris jatuh, hanya tangan refleksnya yang menyelamatkan, tak ada reaksi dari siapa pun. Sunyi tetap jadi penghuni utama rumah itu.

Setelah habis, ia meneguk air putih, menahan napas sejenak, lalu menghembuskannya perlahan. Pagi-pagi begini, seharusnya ada obrolan ringan, tawa, atau sekadar tegur sapa. Tapi bagi Recandra, semua itu sudah lama menghilang—mungkin sejak ia memutuskan untuk hidup dengan pilihannya sendiri.

Atau... sejak teman-temannya mulai menusuk dari belakang.

Pikiran itu datang tiba-tiba, seperti tamu tak diundang. Ia menatap sendok di tangannya yang kini diam, menggantung di atas piring kosong. Wajah-wajah mereka muncul dalam ingatannya—tertawa bersamanya, berjuang bersamanya, lalu perlahan menghilang satu per satu, menyisakan pengkhianatan.

"Lucu ya," gumamnya pelan. "Dulu mereka kayak keluarga. Sekarang lebih asing dari orang asing."

Ia berdiri, membawa piring kotornya ke wastafel. Ibunya bergeser sedikit, tapi tetap tanpa kata. Recandra tak menuntut lebih.

Selesai membersihkan meja, ia berjalan ke beranda lagi. Angin pagi masih sama. Matahari masih menyinari halaman. Tapi pikirannya tidak lagi tenang. Ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam dadanya—bukan dendam, bukan juga sedih...

Tapi semacam tekad. Tekad untuk tetap hidup, meski sendiri.

Recandra memutuskan pergi keluar saat ini, suasana rumah benar benar asing ia berharap kebisingan di jalan mampu menenangkan pikirannya.

Recandra mengambil kunci motornya, lantas berjalan keluar.

"Recandra keluar dulu." Ujarnya namun tetap hening tak ada sahutan, senyum miring terukir di wajahnya, ia terus melangkah keluar lantas mengeluarkan motornya Kawasaki Ninja H2R. Bodinya hitam mengilap, dengan garis aerodinamis tajam seperti binatang buas yang sedang tidur..

Ia mengusap sedikit joknya, lalu dorong pelan keluar ke halaman depan. Matahari pagi memantul di fairing-nya yang agresif.

Sesampainya di tengah halaman, Recandra berdiri di samping motor. Ia pakai sarung tangan tipis, lalu memutar kunci.

Beep.

Mesin supercharged-nya aktif—lampu depan menyala terang, dan indikator digital berkedip.

Ia menekan tombol starter.

Sekejap...

GGRRROAAAARRRRRRR!!!

Suara ledakan mesin 998cc supercharged itu mengguncang pagi. Bukan cuma gang rumahnya—mungkin satu RT bisa dengar.

Recandra duduk di jok, lalu putar gasnya sedikit.

BRRRRAAAAAAAAAAAAAGHHHH!!

Sekali putaran—burung-burung beterbangan. Anak-anak lari dari jalan.

Dua kali—genteng rumah tetangga kayak bergetar.

Tiga kali—suara mesin melengking, liar, brutal, kayak auman naga dari neraka.

Bukan untuk pergi.

Tapi cukup untuk memanggil siapa pun yang pura-pura tuli.

Ia menoleh ke jendela ruang tamu. Tirai bergeser. Ayahnya muncul sebentar, lalu langsung menutup lagi.

Dari dapur, ibunya berteriak, "Nggak usah rusakin telinga orang juga, Can!"

Recandra tertawa kecil, mematikan mesin. Suara motor mendadak hilang, dan dunia kembali hening—tapi sekarang ada bekasnya.

Ia turun dari motor, bersandar di jok, menatap rumahnya sambil menyulut rokok.

"Akhirnya kalian denger juga," gumamnya.

Biarpun sebentar, paling tidak... hari ini ia tak sepenuhnya tak terlihat.

Recandra kembali naik di atas motornya menyalakan mesin lantas tancap gas di jalanan, ia melaju dengan kecepatan tinggi melewati beberapa kendaraan di jalanan dengan cepat, ia tak punya tujuan tapi kecepatan motornya sama sekali tak ia kurangi, sesekali seseorang di jalan menegurnya menyuruhnya mengurangi kecepatan tapi tak di hiraukan ya toh, kalau ia kecelakaan tidak ada yang peduli.

"Apa gue ke kafe aja ya daripada kayak gini muter muter gak jelas" batin Recandra.

Ia pun segera menuju mustika caffe,

Dua menit ia telah sampai, Recandra turun dari motornya lantas mematikan mesin. Ia berjalan memasuki mustika caffe yang terlihat ramai pengunjung, suara alunan musik terdengar menenangkan di telinganya, ia duduk di salah satu kursi tak langsung memesan secangkir kopi, melainkan ia menikmati suara alunan musik dengan judul sanctuary yang terdengar begitu indah di telinganya.

Dua menit suara musik diganti ia tak tahu apa namanya tapi terdengar merdu di telinganya dan menangkan pikirannya.

"Pelayan." Ujarnya memanggil.

Seorang pelayan dengan cepat menuju meja Recandra.

"Ia ada yang bisa saya bantu?" Ucap seorang pelayan perempuan berpakaian rapi dengan rambut pendek sebahu membawa buku kecil.

"Saya pesan secangkir kopi espresso." Ujar Recandra.

Dengan cepat pelayan itu menuliskan pesanannya.

"Baik silahkan ditunggu." Ujarnya lantas berjalan meninggalkan meja tersebut.

Sambil menunggu pesanan tiba, ia memutuskan memainkan ponselnya membuka medsos melihat top trending hari ini, tak lama kemudian seorang wanita berjalan memasuki kafe ia terlihat bingung mencari tempat duduk, hanya tinggal satu kursi itupun ada di satu meja seseorang lelaki yang tak lain Recandra, sedikit mengumpulkan keberaniannya, ia berjalan menuju meja Recandra. "Boleh saya duduk sini." Ujarnya dengan suara kalem.

Recandra mengangguk sekilas mempersilahkannya duduk.

"Perkenalkan nama saya Catrine." Ujar wanita tersebut dengan ramah

"Nama gue Recandra, senang berkenalan denganmu Catrine."

---